Mulai sekarang, malam Minggu adalah malam spesial. Karena, tiap jam 8 malam (wib), yang artinya jam 11 malam waktu Queensland, Mas Tasaro GK membuka kelas menulis gratis di facebook.
Wuih, senengnya bukan main. Dan setelah saya mengikuti rangkaian kelas menulis yang sudah sampai di minggu ke-3), saya menemukan sebuah ilmu baru yang belum pernah saya dapatkan di buku atau pelatihan menulis lain. Subhanallah, ternyata ilmu menulis ini sangat luas, ya.
Berikut saya rangkumkan beberapa point yang dibahas pada kelas menulis yang pertama. Kalau ada kesempatan, insyaAllah akan saya lanjutkan merangkum kelas menulis Mas Tasaro berikutnya (atas izin beliau, tentunya).
Bismillahirrahmaanirrahiim…
Tasaro GK:
Sejauh mana jurnalistik bisa membantu kita menulis fiksi (terutama novel) dengan baik?
Salah satu jenis produk jurnalistik yang legendaris disebut FEATURE. Feature adalah senjata pamungkas segala jenis media massa saat ini untuk merangkul pembaca, utamanya ketika pergerakan dunia pemberitaan sudah sangat gencar. Berita langsung/stright news yang dulunya menjadi raja tergeser oleh feature yang mengakomodasi kebutuhan media massa harian, majalah, tabloid, berita TV, dll.
Apa itu FEATURE?
Yulia Nursetyawathie: Feature adalah tulisan hasil reportase (peliputan) mengenai suatu objek atau peristiwa yang bersifat memberikan informasi, mendidik, menghibur, meyakinkan, serta menggugah simpati atau empati pembaca. (LeSPI, 1999-2000).
Tasaro GK:
Istilah gampanganya: Feature is tulisan khas…di dalamnya, penulis memasukkan unsur human interest: apa pun yang membuat pembaca tertaawa, menangis, sedih, tersenyum, dan semua prasaan emosi.
Nah, sudah kebayang yah….”kerjaan” novel itu kan menggugah emosi pembaca. Membuat pembaca tertawa, menangis, bersedih, terharu, dll….menarik emosi meraka ke luar dari dadanya….Feature dan Fiksi (baca: Novel) memiliki kemiripan. Sama-sama “bekerja” untuk menarik emosi pembaca. Bedanya….feature berbahan data faktual dieksekusi menjadi produk faktual. Sedangkan novel dieksekusi menjadi produk fiktif.
Bagaimana mengesekusi data menjadi produk yang naratif dalam novel?
Teori #5 plus1 berdasar pada potensi yang dimiliki manusia sedunia: panca indera. Boleh disebutkan, apa saja 5 indera yang kita punya.
PENDENGARAN, PENGLIHATAN, PENCIUMAN, PERABA, PERASA
Siapa yang ketika baca AAC, merasakan panas Mesir, debu padang pasir di hidung, suasana Al-Azhar? Terasa ya? Seolah olah kulit kita merasakan panasnya Mesir, telinga kita mendengar hiruk pikuk Al Azhar, hidung kita menghirup debu padang pasir.
Apa sebabnya?
Sebab, sang penulis, Kang Abik…melakukan penginderaan lewat kata-kata. Kang Abik melakukan penginderaan terhadap objek lalu menyampaikan penginderaannya kepada pembaca….lewat kata-kata….kita akan belajar mengindera malam ini, Sob!
Pertama, kita akan melatih indera penglihatan kita….
Coba perhatikan benda yang ada di sekeliling kita, lalu buat daftarnya. Misalnya gelas, kopi, meja, dsb.
Lalu timbul pertanyaan.
Kalau daftar yang teman-teman buat tadi ditulis di FB, kemudian dibaca teman-teman yang lain. Kira-kira, apakah teman yang baca paham… penulis ini ngasih gambaran apa? Apakah daftar barang “mentah” tadi sudah cukup memberi gambaran kepada pembaca kita. Apa yang sedang kita terangkan? Bisakah pembaca mengerti maksud kita?
Jadi, data mentah tadi cuma memberi tahu pembaca kita daftar nama benda saja, TIDAK BISA memberi gambaran keadaan, tidak bisa memberi SUASANA kepada pembaca.
Pekerjaan penulis adalah mengindera daftar barang tadi lewat PENGLIHATAN dan memilih bahasa dan kata paling mendekati, agar pembaca SEOLAH-OLAH memakai PENGLIHATAN mereka untuk melihat objek yang sama.
Itu tidak cukup dengan mengatakan BUKU, PULPEN, LAPTOP, MEJA, KURSIBUKU? BUKU YANG GIMANA?PUPLEN? PULPEN YANG GIMANA?LEMARI? LEMARI YANG KAYAK APA?
Disinilah fungsi SHOW! not TELL! Berlaku karena senjata penulis adalah kata-kata. Kita harus mampu menggambarkan objek yang kita maksudkan, bukan sekadar “MENGATAKAN” kepada pembaca.
Misalnya….TELL/MENGATAKAN: kursi; SHOW/MEMPERLIHATKAN: kursi berbentuk segitiga dengan tiga kaki sepanjang lengan orang dewasa.
Kedua: PENDENGARAN…
Kita sering kagum dengan kemampuan penulis yang menggambarkan “kebisingan” adegan. Seolah-olah kita ada di dalamnya, dan mendengarnya langsung. Sebenarnya sederhana saja. Penulis “hanya” melakukan penginderaan dengan menggunakan PENDENGARANNYA. Penulis menyeolah-olahkan dirinya ada dalam suasana tersebut.
CONTOHNYA: adegan perang dalam GAJAH MADA Mas Langit Krisna Hariyadi. Membayangkan betul-betul, berimajinasi, suara apa yang dia dengar jika dia ada dalam perang tersebut, lalu dia memberi tahu pembaca lewat kata-kata.
Sebagai latihan, coba pejamkan mata. Pisahkan semua suara yang terdengar. Identifikasikan apa saja!
Nah, kalau kita hanya memberi tahu pembaca dengan menulis DAFTAR suara yang kita dengar, itu tidak akan memberi SUASANA dan RASA. Karena daftar apa yang kita dengar TIDAK CUKUP memberi suasana maka, kita harus menggambarkan (SHOWING) lewat kata-kata.
Tekniknya hampir sama dengan penglihatan, hanya pada pendengaran lebih susah karena harus menggunakan PENGANDAIAN.
Contoh, bunyi kendaraan Kang Rafif diumpakan seperti bunyi dengung lebah. Suara terompet SEPERTI bayi menjerit.
Waaah, selama satu jam kita membahas materi, baru mencakup dua indera. Sisanya dilanjutkan minggu depan. So, stay tune di saluran ini, ya. Karena insya Allah saya akan share kembali sessi lanjutan kelas Mas Tasaro GK ini. See ya ^^.