
Aku tidak pernah bosan membaca surat-suratmu. Yang kau kirimkan sejak kita belum menikah, hingga enam bulan yang lalu. Meski teknologi digital dan telekomunikasi berkembang mengalahkan kecepatan uban yang tumbuh di kepalaku, kamu masih tetap bertahan dengan lembaran-lembaran surat panjang untuk memberi kabarmu.
Aku tak pernah lelah mengulang halaman-halaman surat yang pernah berulang kali kubaca. Entah sudah yang ke berapa kalinya. Kertasnya bahkan sudah lusuh, terlipat dan rapuh. Tapi surat yang kamu kirimkan di malam sebelum pernikahan kita adalah surat terbaikmu. Yang selalu kusimpan di laci teratas meja di samping tempat tidurku.
Aku tak akan pernah lupa, di salah satu surat kamu mengatakan bahwa kamu mungkin akan lama tak mengirimi aku pesan karena tugasmu di pedalaman. Yang tak punya kantor pos dan tak ada warung untuk membeli perangko. Ternyata, esoknya aku menerima suratmu. Ternyata, kamu sudah menyiapkan beberapa surat yang kamu titipkan pada kantor pos kota kita, untuk dikirim berkala.
Jaka, sejak aku tak lagi menerima surat-suratmu, hidupku hampa. Meski aku belum bosan mengulang surat-surat lamamu, namun aku tak akan melakukan lagi kebiasaanku. Menanti pak pos dari sudut jendela kamar. Menunggu klakson motornya, lalu tersenyum kepadaku sambil menyodorkan amplop putih bertuliskan namaku.
Aku tak sanggup untuk tidak melakukan semua itu lagi, Jaka. Kumohon jangan berhenti berkirim surat padaku. Aku akan selalu menunggunya. Surat yang kamu kirimkan dari surga.
Tertanda,
Aline
Menyentuh sekali mba. Jadi teringat sesuatu neh membaca ini.
Aduuh maluu. Ini beneran orat-oretanku latihan nulis fiksi lg dikit2
Setia pisan. Jadi ikutan sedih.
Baru enam bulan 😉
waah ngefiksi juga mba Anne..
ciayooo asik nih
Udah lama absen mbak. Awalnya mmg nulis fiksi, baru blogging
simple dan sangat menyentuh.
thanks ANNE ADZKIA
Gw sudah lupa cara menerima surat dari pak pos hehehe
jaman sudah digital dan semua nya berubah
Emang udah pernah surat2an? ;p
Ya Allah mbak sedih amat sih huaaaa, untuk ini fiksi, kalo beneran merana sungguh merana