
Pada akhirnya selalu ada yang datang dan yang pergi (Rahadi W. Pandoyo, 2015).
Akan selalu ada konsekuensi dari apapun jalan yang kita pilih. Mulai dari keberuntungan ataupun kesialan. Namun sebagai orang yang beragama tentu tidak tepat menyatakan hal yang baik sebagai keberuntungan dan hal yang buruk sebagai kesialan. Karena sejatinya semua adalah ujian.
Adib merasa hari-harinya penuh kesialan. Dia seakan “terjebak” dalam sebuah kondisi “bera
da di tempat yang salah dalam waktu yang salah” sehingga ketiban sial. Mulai dari kisah cintanya saat mahasiswa dulu, pekerjaannya di bangsal UGD Rumah Sakit Kiara Medika, Bekasi.
Berlanjut ke kesialan berikutnya yang tak juga mendapatkan pasien ketika bekerja di Klinik Adi Husada Tangerang. Giliran ada pasien, dia kembali terlibat masalah pelik hingga mengeluarkannya dari klinik tersebut dan bekerja di bidang yang tidak sesuai profesinya. Belum lagi masalah keluarga yang menghimpitnya, menjadikan Adib merasa orang paling malang di dunia.
Adib adalah seorang dokter yang kehidupannya penuh perjuangan. Dimulai dari perjuangannya untuk bertahan di Fakultas Kedokteran, hingga perjuangannya untuk hidup setelah menjadi dokter. Dia tidak menyangka, profesi yang menurut kebanyakan orang adalah profesi yang mudah mendatangkan uang, ternyata tidak terbukti padanya. Secara finansial, penghasilannya sebagai dokter bahkan kalah oleh penghasilan Pak Tarno yang bekerja di bagian depot obat dan menyambi menjadi tukang parrkir.
Belum lagi konsekuensi yang harus ditanggungnya ketika ada masalah pada pasien-pasiennya. Bukan hanya dirinya yang harus berkorban, namun keluarga dan seluruh hidupnya terkena imbas dari konsekuensi pekerjaannya.
Dua kali Adib dituduh malpaktik dan luluh lantak. Saat dia mulai bangkit, ada lagi masalah yang menghampiri. Mitha, teman lama yang muncul lagi dalam kehidupan Adib banyak membantu, mulai dari support mental hingga materi.
Bersama Mitha pula Adib berhasil menyelesaikan kasus yang pernah menjeratnya, meski pertemuan demi pertemuannya dengan Mitha membangkitkan banyak cerita di masa lalu Adib.
Pada akhirnya, semua kembali dihadapkan pada pilihan dan konsekuensinya. Adib kembali harus membuat pilihan besar dalam hidupnya meski ada hati yang tersakiti.
***
Menemukan novel yang bagus di antara setumpuk buku bagaikan menemukan harta karun berharga yang tak ternilai harganya (Anne Adzkia, 2016).
Novel “The Doctor” karya Rahadi W. Pandoyo ini tidak sengaja saya temukan di rak toko buku sebuah Mall di Bintaro. Saya sempat mengintip isinya, namun tidak membacanya. Saya berminat membaca buku ini karena dunia kedokteran akrab dengan kehidupan saya.
Sebelumnya, beberapa kali saya membaca buku yang berhubungan dengan kedokteran, tapi tidak berhasil menyelesaikannya. Entah terlalu teknis atau terlalu garing. Tapi buku The Doctor ini istimewa buat saya.
Sejak halaman pertama sampai akhir, tidak sesaat pun saya ingin meletakkan buku ini karena lelah. Bahasanya sangat mengalir. Meskipun disertai istilah-istilah kedokteran, tidak menjadikan buku ini terlalu teknis. Well, mungkin karena ini bersinggungan dengan profesi saya juga ya, jadi saya paham istilah-istilahnya.
Tokoh Adib yang menjadi karakter utama novel ini, diceritakan sebagai seorang lelaki yang lemah. Ya, dia terasa terlalu mudah menyerah pada keadaan. Misalnya saat karirnya hancur, dia tidak berjuang untuk mendapatkan kembali. Juga ketika keluarganya terpecah, Adib tampak seperti kurang gigih memperbaikinya.
Namun, alasan-alasan yang dimiliki Adib untuk menjadi lelaki yang lemah sangat masuk akal. Tidak ada kesan diada-adakan dan serba kebetulan. Sebenarnya, Adib bukanlah lemah. Melainkan karena tempaan keluarganya yang selalu hidup dalam keterbatasan, membuatnya menjadi orang yang mudah menerima keadaan. Tabah dan tidak mudah putus asa.
Karakter kuat Adib inilah yang menjadi daya tarik utama novel ini. Perjalanan hidup Adib yang penuh liku diceritakan runut dan alami.
Selain itu, penulis juga memberi banyak informasi dan edukasi tentang dunia kedokteran yang sesungguhnya, yang menyatu ke dalam cerita. Rahadi pandai mengolahnya menjadi satu kesatuan cerita yang tidak terpisahkan. Pembaca tidak disuguhkan narasi yang membosankan, padahal membahas tentang hukum dan etika kedokteran.
Dari alur, konflik dan twist yang beruntun di setiap bab seharusnya melelahkan. Tapi tidak sama sekali di novel ini. Semua sangat terasa seperti kenormalan yang bisa dialami oleh siapa saja. Tidak seperti kisah dalam sinetron yang seringkali terasa dibuat-buat atau “lebay”. Menjelang bagian akhir, ada twist yang menegangkan ketika Adib dan Mitha menyelesaikan kasus kriminalitas yang sempat merugikannya.
Novel ini mengajak kita bergumul dengan beragam emosi. Apalagi karena background saya yang juga di dunia kedokteran, merasa iba terhadap kasus-kasus yang banyak menimpa tenaga kesehatan seperti yang dialami Adib dan rekan-rekannya. Sedih, marah dan terharu.
The Doctor, salah satu seri dari rangkaian #NovelProfesi yang menarik untuk dibaca oleh siapa saja. Bahkan oleh orang yang bukan dari dunia kedokteran. Beberapa istilah medis memang tidak dijelaskan artinya, namun tidak menganggu keasyikan membaca seluruh ceritanya.
Informasi Buku
Judul: The Doctor
Penulis: Rahadi W. Pandoyo
Penerbit: Mazola, Yogyakarta
Editor: Etanov
Cetakan: Pertama, 2015
ISBN: 978-602-255-778-4
Wow sepertinya bagus novel ya, keren juga reviewnya.
Bagus mb Naqi, sayangnya blm ada di GR. jd gak bisa ngerate
Bookmarked dulu ah, buat rekomendasi buku berikutnya nih. Thanks infonya mba anne 🙂
Siiip. Makasih mbak
Menarik bukunya Mbak, baca ini seolah-olah sudah ada gambarannya ^^
Isinya berat tapi menarik buat disimak kayaknya Mbak Anne. Apalagi dunia kedokteran yang njenengan bisa selesaikan. Nyari ah di perpustakaan. 😀
Isinya ringan kok, dan mmg penulis pandai mengolah cerita dgn baik