
Saya masih ingat, pertama kali berkenalan dengan sosok ini ketika masih berstatus mahasiswa ko-ass. Masih muda dan bersemangat yang menyala-nyala untuk melakukan banyak hal. Dan masih senang bergaul. Gaul, ini kata yang saya garis bawahi. Karena saat itu, adalah saatnya bereksplorasi dan memperluas ilmu. Hingga saya berkenalan dengan banyak orang.
Sosok yang akan saya bahas ini, termasuk bagian dari eksplorasi saya. Awalnya, teman yang mengajak saya datang ke rumahnya. Saat itu, dia adalah kakak tingkat saya.
Jujur, di awal saya sering malas hingga tak jarang mencari-cari alasan untuk absen.Sepulang dari klinik ko-ass, saya lebih memilih untuk pulang dan istirahat. Namun teman saya ini tak pernah bosan terus mengajak, dan akhirnya saya rutin datang ke rumah beliau setiap pekannya.
Beliau adalah murabbiyah pertama saya. Seorang wanita rendah hati, lemah lembut dan sabar itu perlahan mengikis batu di kepala saya. Seiring berjalannya waktu, saya mulai merindukan jika lama tidak mampir ke rumahnya. Rindu bertemu bersama teman-teman lain dalam forum melingkar di sebuah rumah kontrakan sederhana sambil melantunkan bacaan Al Qur’an.
Ternyata, momen itu justru amat saya butuhkan, karena mampu meleburkan kepenatan usai berjibaku dengan urusan klinik yang membuat chaos isi kepala saya.
Dan, sosok itu akhirnya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidup saya. Berawal dari pertemuan di rumah kontrakan itu, berlanjut ke pertemuan-pertemuan lain setelahnya. Saya sudah berganti beberapa murabbiyah. Menyusul kepindahan saya ke beberapa tempat setelahnya, saya bertemu dengan sosok-sosok yang hampir mirip. Rendah hati, sabar dan berwajah teduh. Ah, bahkan saat menulis ini, saya tengah menggambarkan wajah mereka di benak.
Betapa saya merindukan mereka. Mereka menjadi tempat saya menimba ilmu, berbagi pengalaman, dan menumpahkan isi hati. Mereka sudah bagaikan kakak kandung bagi saya. Hingga kemana pun saya pindah, saya pasti mencari sosok yang serupa di lingkungan saya.
Pertemuan dengan mereka, bukanlah hanya pertemuan tanpa makna. Karena saat bersama merekalah saya merasa tengah menyelami samudera ilmu yang teramat luas. Hingga jika pertemuan usai, saya sudah merindukannya lagi. Padahal baru beberapa menit berlalu.
Ada salah satu murabbiyah saya ketika saya tinggal di Tanjung, Kalimantan Selatan, yang amat saya cintai. Hampir setiap kali beliau memberikan tausiyah, air mata saya meleleh. Jika tengah merindukan beliau, tiba-tiba beliau menelepon saya dan bilang kalau beliau juga sedang merindukan saya. Seperti ada ikatan batin yang kuat. Tak jarang saya pun mengirimi beliau ucapan cinta.
Saya mencintai mereka. Hingga kini. Meski saat ini saya tidak mungkin mengirimi ucapan cinta karena saya tidak punya murabbiyah, melainkan murabbi. Rasanya cukup dengan doa rabithah yang bisa memperkuat ikatan hati kami. Semoga tersampaikan ucapan cinta saya meski tanpa kata.