Lara Hati Lara [bag. 2]

Sebelumnya, di bagian ke-1

Kesedihan itu Ternyata Menular

Vina kembali ke rumahnya siang itu sangat terburu-buru karena dua hal, pertama dia harus segera bersiap-siap praktik sorenya. Meskipun hari itu Sabtu, dimana sebagian besar karyawan kantoran libur termasuk puskesmasnya, tapi Vina tetap membuka praktik sorenya saat weekend. Menurutnya orang sakit bisa datang kapan saja, tanpa memilih hari libur atau hari kerja.

Alasan keduanya dia terburu-buru adalah karena ingin segera bertemu suaminya, Dino, yang saat itu sedang libur weekend di rumah.

Untunglah, Sabtu kemacetan Jakarta tak sepadat hari kerja. Vina bisa lebih cepat 30 menit dari waktu biasanya. Masih ada waktu untuk bertemu suaminya, mengobrol sebentar sebelum dia mulai membuka praktik dokternya.

“Assalamu’alaykum.” Sapa Vina pada suaminya yang sedang asyik menekuri hobbynya otak atik mobil.

“Wa’alaykumussalam,” jawab Dino tanpa mengalihkan perhatiannya dari mesin mobil di hadapannya.

“Sudah makan, Mas?”

“Sudah. Tadi kebetulan Mama mampir juga, bawain rendang. Jadi kita makan siang sama-sama.”

“Sekarang Mama kemana?”

“Shopping ke mall berdua Chitta.”

“Mas, masih sibuk, ya? Aku mau cerita sesuatu, nih.”

“Nggak terlalu. Cuma tinggal sedikit aja kerjaanku. Sok, kamu ngomong aja, aku dengerin.”

“Gini, Mas. Mas tahu nggak, barusan aku habis makan siang sama siapa?”

“Siapa? Donna? Haris?”

“Bukan. Aku tadi ketemuan sama Lara. Sebelumnya aku ketemu Lara di bandara pas mau ke Surabaya. Trus, aku lihat Lara seperti orang sakit. Memang begitu aku periksa beberapa bagian badannya, dia sakit. Badannya lemah. Tapi menurutnya dia sehat-sehat aja, Cuma kecapekan.”

“Ehm.”

“Aku sih ngambil kesimpulan, dia sakit karena punya masalah psikologis, Mas.”

“Kok kamu bisa bikin kesimpulan kayak gitu?”

“Karena setelah itu dia cerita masalahnya.”

“Oya?”

“Iya. Mas mau dengar?”

“Ehm…sebentar. Siapa namanya kamu bilang tadi?”

“Lara, Mas.”

“Ooo. Dia temen kuliah kamu?”

“Mas nggak inget Lara?”

“Lara? Lara mana ya?”

“Larasati, Mas. Temen SMA kita dulu. Dia kan malah sekelas sama kamu, trus sekampus juga kuliahnya.”

“Oh, Lara yang itu?”

“Mas masih sibuk, ya? Katanya udah mau selesai?”

“Sebentaaar lagi. Tinggal bersihin busi, nih. Lanjut aja, toh aku kan masih ngikutin pembicaraan kita.”

“Hmmm…iya, sih. Tapi aku ngomong menghadap kamu, kamunya malah menghadap mobil.”

“Nggak masalah. Trus gimana? Lara cerita apa?”

“Dia cerita tentang teman dekatnya yang kuliah di Jepang dan nggak tahu kemana rimbanya. Mas kenal? Barangkali pernah ketemu.”

“Kamu lucu deh, Vin. Masa nanya sama aku. Emang aku petugas kependudukan atau apa, yang tahu daftar orang-orang.”

“Kok petugas kependudukan, sih? Lurah kali, Mas?”

Whatever, deh.” Vina lalu bangkit, bersiap masuk ke dalam rumah. Karena sejak tadi, dia baru sampai garasi. Tas-nya saja masih digenggamnya. “Mas, aku masuk dulu. Mau siap-siap praktik. Nanti kita sambung ngobrolnya, ya. Setelah aku beres kerja.”

“Eh hm.”

Vina meninggalkan suaminya yang ternyata masih sibuk otak-atik mobilnya. Dia bergegas mandi, lalu menyiapkan ruang kerjanya untuk mulai menerima pasien. Hari Sabtu biasanya pasien-pasien lebih sehat, pasien tidak terlalu banyak. Jadi bisa lebih santai mengisi malam minggu bersama suaminya di sela-sela kunjungan pasien.

***

Bekerja dengan pikiran yang dipenuhi berbagai masalah tidak akan membuahkan hasil yang baik, apapun pekerjaannya. Begitu juga dengan Vinna malam itu. Beberapa kali dia keliru mengucapkan kata-kata maupun mengambil alat yang akan digunakan untuk memeriksa pasien. Seharusnya mengambil sphygmomanometer atau tensi meter, dia malah mengambil pulpen. Akan mengambil syringe utnuk menyuntik malah mengambil senter. Untung saja dia tidak salah melakukan treatment atau menulis resep obat.

Beberapa pasien langganan seperti mengerti bahwa dokternya saat itu sedang ada masalah, sehingga tampak berbeda dalam menangani pasiennya.

Vina biasanya selalu ceria, banyak bercanda dan akrab dengan pasien, malam itu lebih pendiam. Dia bertanya seperlunya, lalu buru-buru mencatat informasi yang diperolehnya dari pasien pada medical record.

Beruntung pasiennya malam itu tidak banyak, jadi bisa menutup tempat praktiknya lebih cepat.

Sekembalinya ke rumah, didapatinya Dino, sang suami sudah tertidur di ruang tengah. Televisi masih menyala dan menayangkan film horror. Vina tidak suka film horror, maka langsung saja dia matikan televisinya.

Usai membersihkan diri, Vina mengira Dino sudah bangun kembali ternyata malah makin terlelap. Bisa terdengar suara dengkurannya yang berirama teratur dan lebih keras dari sebelumnya. Niatannya ingin kembali mengobrol terpaksa tertunda. Padahal saat itu baru jam 8 malam.

Vina meraih ponselnya dan mencari daftar nama dalam contact listnya dan menekan tombol bertanda telepon berwarna hijau.

“Halo, assalamu’alaykum,” sapa Vina membuka pembicaraan.

“Wa’alaykumussalam.”

“Hei, lagi ngapain, Ra?”

“Halo, Vin? Nggak praktik?”

“Udah selesai, Ra. Malem minggu nggak kemana-mana?”

“Nggak, Vin. Aku memang nggak pernah kemana-mana. Biasa di rumah aja, baca buku, nonton film. Lagi ada horror tuh di RCTI.”

“Aku nggak suka horror. Tadi juga kulihat suamiku lagi nonton itu, tapi dia ketiduran.”

“Eh, aku nggak tahu lho kamu udah nikah.”

“He..he..he, aku memang baru nikah enam bulan, Ra. Masih pengantin baru.”

“Huaaa, senangnya. Kapan-kapan ajak suami kamu juga kalo kita ketemuan, Vin. Kenalin sama aku. Kali aja punya kenala yang bisa jadi calon aku, he..he..he.”

“Wah, betul, Ra. Ehm, sorry kalo aku nanya-nanya. Kamu udah bisa move on, kan? Bisa melupakan Adrian?”

“Entahlah, Vin. Tapi aku harus move on, kan? Harus bisa.”

“Iya, Ra. Aku yakin kamu pasti bisa. Ra, besok aku main ke rumah kamu, ya? Aku kenalin kamu sama suami aku. Sekalian aku mau latihan bikin tiramisu, nanti kamu coba ya.”

“Waaah, dengan senang hati. Aku suka tiramisu. Nanti aku bikinin salad buah, ya. Aku punya resep andalan, lho. Kamu pasti suka, deh.”

“Okeee. Sampai ketemu besok, ya. Dadaah.”

“Bye, Vina.”

Jantung Vina kembali berdebar cepat setiap usai mengobrol dengan Lara. Malam itu dia berusaha tidur, sejenak melupakan semua kejadian yang dia alami.

***

“Assalamu’alaykum.”

“Wa’alaykumussalam. Vina, mari masuk. Rumahnya berantakan, nih.”

“Yaaa, nggak apa-apa lah, Ra. Mau aku bantuin beres-beres?”

“Ha..ha..ha, nggak usah, Viiin. Abis dirapiin juga bakalan lagi berantakan. Ponakan-ponakanku energinya besar. Bikin rumah heboh terus. Oya, suamimu mana?”

“Ada. Sebentar lagi masuk. Tuh, dia.”

“Hallo.” Dino menyusul Vina masuk ke rumah Lara.

“Ha….lo….” kalimat Lara berhenti ketika dilihatnya siapa yang datang. “A..a..adrian. Bagaimana mungkin?”

“Lara? Vina, kamu nggak bi…”

Wajah Adrian dan Lara sama-sama pucat. Vina sendiri sebenarnya dalam kondisi yang luar biasa canggung. Dia merasa bersalah pada Dino, alias Adrian Dino Wastika, karena tidak memberi tahu bahwa mereka akan mengunjungi Lara.

Yang paling besar adalah rasa bersalahnya pada Vina. Dia merasa sebagai orang jahat yang telah merebut Adrian dari Lara.

Selama pernikahannya dengan Dino, suaminya tidak pernah sekalipun bercerita tentang Lara atau wanita manapun. Mereka memang berhubungan sebentar sebelum menikah, bahkan mereka tidak pacaran sebelumnya.

Sekembalinya dari Jepang setahun yang lalu, Adrian sering berhubungan dengan papa Vina sesama pemain golf. Hubungan papa dan Dino semakin dekat, sampai papa kesengsem pada Dino yang cerdas dan humble. Lalu papa menjodohkan Dino dengan Vina, dan mereka menikah beberapa bulan kemudian.

Vina sendiri kaget ketika dikenalkan dengan Dino, karena baginya Dino sama sekali bukan orang asing. Mereka teman sekelas semasa SMA. Dino melanjutkan kuliah di fakultas teknik, sedangkan Vina masuk Kedokteran.

“Vinaa.” Lara menubruk Vina, seketika tangisnya pecah di bahu Vina. Vina memeluk erat sahabatnya dan membimbingnya duduk di sofa.

Suasana pagi itu terasa tidak nyaman buat ketiganya. Dino tampak sangat canggung dan merasa punya andil dan pemegang dosa paling besar, baik pada Vina maupun Lara.

“Lara.” Akhirnya Dino membuka mulut. Lara menatap Dino masih dengan matanya yang basah air mata.”Maafkan aku, Lara.”

“Mas,” panggil Vina lembut. Tangisnya ingin ikut pecah, tapi berusaha ditahannya. Hati serasa dihujam pisau tajam berada di antara Lara dan Dino. Dia sama sekali tidak tahu kalau Dino mempunya arti khusus di hati Lara. Mungkin begitu pula sebaliknya. Dia hanya sebagai orang ketiga diantara mereka.

Sungguh, kalau saja bisa, Vina ingin berlari meninggalkan tempat itu. Dia tak sanggup menyaksikan suaminya beradegan melankoli dengan Lara. Apalagi mereka masih pengantin baru, kemesraan diantara keduanya sedang mekar-mekarnya.

“Vina, sayang. Maafkan aku. Aku nggak bermaksud menyembunyikan sedikitpun cerita masa laluku. Aku sudah sejak dulu menutupnya, sehingga aku merasa tidak perlu membukanya lagi. Aku nggak tahu akan ada kejadian seperti ini.”

“Mas, urusan di antara bisa kita selesaikan nanti di rumah. Sekarang, selesaikan dulu urusan Mas dengan Lara.”

“Iya, sayang.”

Sementara itu, Lara semakin berderai mendengar percakapan Adriannya dengan Vina yang begitu mesra. Dia bahkan tidak pernah menerima ucapan sedemikian mesra dari Adrian selama hubungan mereka dibina.

“Lara, boleh aku menjelaskan semuanya.” Nada memohon keluar dari mulut Dino, suaranya sedikit bergetar.

Lara mengangguk lemah. Dia pasrah. Sudah beberapa hari ini dia mencoba mengurangi waktunya untuk memikirkan Adrian.  Apalagi sejak bertemu Vina, dia merasa ada kekuatan baru dan dukungan dari seorang sahabat. Tadi pagi, dia sudah membulatkan tekadnya untuk kembali melanjutkan hidupnya. Move on. Meninggalkan kesedihan masa lalu, meski semua tidak akan seluruhnya lenyap dari sudut hatinya.

“Aku bingung harus memulai dari mana. Mungkin, aku cuma bisa mengatakan, it’s me. Inilah aku sekarang. Aku sudah menikah enam bulan yang lalu dengan Vina, yang kebetulan adalah sahabat kamu. Papa Vina yang menjodohkan kami berdua.”

Dino melemparkan sejenak pandangannya pada istrinya. Tatapan mesranya tak bisa disembunyikan, dan Lara bisa menangkapnya.

“Aku kembali dari Jepang tahun lalu. Dan sejak saat itu pula sebenarnya aku sudah ingin menyudahi hubungan kita, karena aku sadar bahwa hubungan kita sudah tidak memiliki masa depan. Komunikasi yang dibangun tidak sehat. Perlahan rasa yang aku miliki pun pudar. Makanya aku sudah tidak lagi menghubungimu, berharap kamu melupakan aku saja. Toh diantara kita memang nggak pernah ada pernyataan apapun yg menjelaskan bentuk hubungan kita saat itu. Aku bahkan tidak pernah lagi menengok akun facebook-ku, Lara. Maaf kalau kamu masih mengirimkan pesan di sana.”

Baik Vina dan Lara sama-sama meneteskan air mata di kedua pipi mereka.

“Baru dua bulan yang lalu aku kembali membuka facebook, awalnya karena akan mencari kontak seorang teman semasa kuliah. Lalu aku membaca pesan-pesan kamu. Aku membuat janji dengan kamu di bandara maksudnya untuk menjelaskan masalah ini. Meng-clear-kan semuanya.”

Lara sepertinya sudah bisa meredakan tangisannya. Dia mendengarkan penjelasan Adrian, sambil sesekali menatap wajah Vina. Sempat Lara menangkap tatapan mata sendu di wajah Vina, mungkin seperti perasaan awkward atau guilty. Tapi Lara tahu, itu sama sekali bukan kesalahan Vina.

“Maaf, aku tidak jadi datang saat itu.” Dino melanjutkan penjelasannya. “Tepat di saat aku akan berangkat ke bandara, Vina sakit. Dia tengah mengandung bayi kami, tapi tiba-tiba perutnya kram. Terjadi kontraksi yang tidak diinginkan. Sore harinya, kami kehilangan bayi kami. Setelah itu, aku tidak ingat apa-apa lagi tentang janji itu. Aku terlalu khawatir pada Vina. Kondisinya lemah sekalin dan aku ingin selalu menjaganya semampuku.”

Kali ini, air mata Dino mulai menganak sungai di kedua pipinya. Sementara Lara refleks memeluk Vina. Erat. Keduanya tenggelam dalam keharuan yang dalam.

“Sekali lagi maafkan aku, Lara.” Kata-kata Dino terdengar sangat lirih. Bahkan nyaris tak terdengar.

“Sudahlah, Adrian. Maksudku, Dino. Aku memaafkan kamu. Aku juga menerima semua penjelasan kamu. Maafkan aku yang terlalu berharap banyak pada hubungan kita yang tidak jelas. Terima kasih kamu sudah menjelaskannya padaku.”

Ketegangan mulai mencair. Ketiganya melepaskan nafas kelegaan.

“Vina, Dino. Selanjutnya, maukah kalian tetap jadi sahabatku. Dan aku akan menagih janjiku pada kamu, Vin. Bahwa kamu bakal menjodohkan aku dengan teman suami kamu, kan.”

Semuanya tertawa, pada akhirnya.

***

Epilog

“Hallo..Lara.”

“Hai, Vin. Pakabar? Kok nggak pernah nelpon aku. Dimana sekarang?”

“Aku masih di Sydney, Ra. Aku mau ngabarin, keponakan kamu dua bulan lagi akan lahir. Doakan lancar, ya.”

“Benarkah? Alhamdulillah. Senangnya. Kamu harus sehat ya, Vin.”

“Iya, Ra. Amiin. Oya, satu lagi, tolong cek email kamu, ya. Aku mengirimkan data seorang teman Dino. Barangkali cocok sama kamu. Kabari aku segera, ya.

Lara dan Vina tertawa bahagia. Mereka melepas kerinduan dalam pembicaraan yang panjang di telepon sambungan internasional itu.

[by anne adzkia. selesai]
Share:

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *