
Di blog ini, sebelumnya saya pernah menulis beberapa kisah perjalanan juga, namun tidak banyak. Dan saya masih merasa berhutang untuk menuliskan kisah-kisah yang lain. Mungkin tidak sehebat traveling story/diary para blogger terkenal, tulisan ini hanya berupa catatan sederhana rekaman jejak saya dan keluarga.
Masih ingat saat pertama kali kami tiba di Australia, kami tiba di Internasional Sydney Airport. Rasanya gimanaaaa gitu saat pertama kali menginjakkan kaki di benua Australia. Berasa mimpi. Meski badan lelah dan lusuh, anak-anak juga kelihatan capek banget setelah menempuh 9 jam perjalanan. Tapi kami excited.
Saat itu bandara dipenuhi pengunjung. Kami datang di bulan Januari, saat orang-orang mengakhiri liburan musim panas mereka. Banyak orang traveling dari luar negeri. Dan Australia sebagai negara multikultural terlihat sekali, dari beragamnya suku bangsa yang ada di bandara saat itu.
Selain orang kulit putih yang tentu saja sulit dibedakan dari mana saja asal mereka – saat itu saya masih berpikir kalau ras kaukasia itu identik dengan Australian – banyak sekali orang Asia. Dan saya lebih bisa membedakan dari negara Asia mana saja mereka. Yang pasti saya mengenali orang India, orang-orang berkulit sedang seperti kita mungkin berasal dari Asia Tenggara, yang berkulit putih sipit Asia Timur (Jepang, Hongkong, Korea, Tiongkok) dan yang berkulit hitam, mungkin dari wilayah Papua, Fiji, PNG, dsb.
Maafkan kalau saya salah, ya. Saat itu memang belum banyak pengetahuan saya tentang bagaimana membedakan ciri-ciri ras manusia. Belakangan, setelah berinteraksi langsung dengan mereka tanpa bertanya pun saya bisa menebak kalau seseorang itu adalah orang Jepang, atau Korea, Malaysia atau Filipina, Fiji atau Maori, dsb.
Berada di tengah kumpulan manusia yang berasal dari belahan bumi yang berbeda-beda, dengan budaya yang beragam, rasanya kita merasa kecil. Sama sekali tidak terasa jiwa majority yang biasa saya rasakan di tanah air. Sebagai muslim, saya selalu merasa menjadi mayoritas saat berada di Indonesia.
Mereka mungkin tidak bisa bicara bahasa saya. Bisa jadi, bahkan ada yang tidak tahu dimana Indonesia berada di dalam peta. Well, siapa tahu, kan?
Sirnalah pula rasa superioritas yang biasa dimiliki oleh kita saat menjadi kaum mayoritas. Saya merasa kecil, bukan siapa-siapa. Dan memang seharusnya begitulah kita, bukan? Tidak selalu merasa superior, karena di atas langit ada langit. Hanya Allah-lah sejatinya yang berhak memiliki superioritas.
Langkah pertama menginjakkan kaki di benua kanguru ini telah membekali saya tentang satu hal, tetaplah menjejakkan kakimu ke tanah. Dari sanalah kamu berasal, dan kelak akan kembali.
pengalaman berharga deh bisa ke negeri Kanguru, anak2 sudah ke sana ya mbak, Alfi belum pernah saya ajak sejauh itu
Iya, kami sempet tinggal di sana 2 tahun. Semoga Alfi nanti bisa nyeberang ke benua tetangga ^^
Aaasyiiik asyiiikkk nulis tentang Oz. *langsung mengulik blognya mbak Anne*
Hehehe, baru mindahin dr blogspot nih.
Wah ikut senang dengernya