“Din, tunggu sebentar…”
Panggilan itu menghentikan langkahku. Aku hafal sekali suara itu. Kuputar badan. Ranselku yang besar nyaris mengenai tubuh Yudi yang sudah mendekat.
“Kenapa, Yud. Barang-barangku ada yang ketinggalan di kelas, ya?”
“Ah, nggak. Kamu kok nuduh gitu sih? Aku kan bukan kurir barang.”
“Hehehe, tersinggung niiih?”
“Nggak, kok.” Kepalan tangannya meninju pundakku. Aku tidak sempat mengelak. Sudah beberapa bulan terakhir komitmenku mulai kuat, tidak mau bersentuhan dengan non-muhrimku. Gaya banget nih, si Andin. Mau dikemanain tuh Ronald yang sudah 3 tahun jadi soulmate.
“Kamu mau langsung pulang?” tanya Yudi.
“Hmmm, iya. Kenapa emang? Kalo kamu mau nraktir sih, aku nggak nolak.”
“Iya, Din. Yuk…”
“Serius, Yud?”
“Beneran. Kamu gitu deh, nyangka aku bokek terus.”
“Hahahahaha…nggak gitu. Tumben aja. Angin dari mana?”
“Laut kidul.”
Refleks aku mengepalkan tinjuku ke pundaknya. Tapi buru-buru kutarik sebelum sempat menyentuh pundak kekar classmate-ku di English Conversation Class itu.
“Kenapa nggak jadi nonjok, Din? Takut ya? Aku nggak akan balas, kok.”
“Aih, siapa takut. Aku kasian takut kamu bonyok, Yud.”
Kami tertawa bersama.
Sudah enam bulan aku bergabung di Master English Conversation School untuk meningkatkan kepedeanku bicara bahasa Inggris. Disitulah aku bertemu Yudi. Awalnya dia sangat pendiam. Aku paling malas berteman dengan orang pendiam, harus selalu mengawali obrolan. Makanya aku jarang dekat-dekat Yudi.
Tapi belakangan, dia mulai sering bicara. Entah memang berubah, atau memang denganku saja dia banyak bicara. Aku juga tidak terlalu memperhatikan.
Yang pasti, hari-hari kursusku mulai banyak diisi dengan cerita-ceritanya. Diluar jam kelas tentunya. Saat istirahat, sebelum kelas dimulai atau sepulangnya.
“Ada yang marah nggak Din, kalau ada yang lihat kamu jalan sama aku?” tanyanya.
“Nggak tau ya, Yud. Mudah-mudahan sih, nggak.”
“Lho kok?”
“Nggak usah dipikirin deh. Bilang aja kamu lupa bawa uang, nggak jadi traktir aku.”
“Yeaaaa…nuduh melulu nih anak. Enak aja. Aku udah bawa segepok nih. Kamu mau makan apa aja, aku bayarin deeeh.”
Hujan mulai merintik. Baru terasa satu demi satu butiran halusnya mengenai tangan dan wajahku. Masih beberapa meter lagi menuju tempat pemberhentian angkot. Halte yang kami tuju ada di seberang jalan. Berlawanan dengan halte biasa yang aku datangi untuk pulang ke rumah. Artinya, kami harus menyeberang jalan tanpa melewati jembatan penyeberangan ataupun pedestrian crossing light.
I hate crossing a busy street.
“Ayo nyebrang, Neng. Jangan bengong aja.”
“Hehehe, aku takut, Yud.”
“Sini, sama aku.”
Tangan Yudi menggamit tanganku. Agak keras pegangannya. Aku bingung, tapi tidak berani melepaskan pegangan itu.
Dengan Ronald hal seperti ini sering kulakukan. Bahkan kadang aku yang menggenggam tangannya jika kami akan menyeberang jalan. Meski, bulan-bulan terakhir aku mulai menjaga jarak dan menjauhinya perlahan..mit tanganku. Agak keras pegangannya. Aku bingung, tapi tidak berani melepaskan pegangan karena ternyata rasa takutku pada arus lalu lintas mengalahkan keinginan untuk melepaskan tangan itu.
“Kok tiba-tiba tanganmu dingin sih, Din?”
“Kan mulai hujan.”
“Oh iya, ya. Tuh angkotnya udah keliatan di depan.”
“Ehm, iya. Yud, tanganku lepasin dulu ya.”
“Eh i..iya. Sorry.”
Kami menaiki angkot yang tidak terlalu penuh. Aku mulai melupakan kejadian pegangan tangan tadi. Yudi sendiri tampaknya menganggap biasa saja. Kami mulai saling bercerita. Tuh kan, dia ternyata sama sekali tidak pendiam. Denganku, ada saja kata-katanya yang membuat aku terkikik geli.
“Sebenernya udah dari kemarin-kemarin aku pengin ngajak kamu jalan. Baru sekarang berani ngajakin, Din.”
“Emang kenapa takut segala?” Aku mengerti, Yudi mungkin tahu aku pacaran dengan Ronald dan sering terlihat berdua. Baru akhir-akhir ini dia mulai jarang muncul di tempat kursus.
“Takut kamu makannya banyak.”
“Jiaaah…emang aku ada tampang gembul? Aku kan pemalu, Yud.”
“Pemalu bukan berarti makannya sedikit kan, Din.”
“Ih, rese. Emang ada apa sih tiba-tiba pengin ngajak jalan aku? Emang si Lando udah nggak asyik lagi buat jalan bareng.”
“Nggak apa-apa. Sayang aja duit arisanku kalo dipake traktir Lando yang makannya kayak buta ijo.”
Aku mulai nyaman ada di dekat Yudi.
Lho, kemana komitmen kamu, Andin? Bukankah kamu mulai menjauhi Ronald karena kamu mulai tidak mau lagi pacaran? Mulai ingin menjaga diri dengan non-muhrim kamu? Kalau dengan Ronald kamu ingin menjaga diri, begitu juga seharusnya dengan Yudi, bukan?
Bedanya Yudi dengan Ronald. Ronald adalah pacarku, yang selalu ingin dekat-dekat. Bahkan beberapa kali dia mencoba menciumku, tapi selalu berhasil kutolak. Sedangkan dengan Yudi, apa yang aku takutkan? Dia hanya teman sekelas. Tidak lebih.
“Kita makan di Wendy’s aja, ya? Udah lama aku nggak kesana,” usul Yudi.
“Aku baru kemarin kesana, Yud.”
“Oya, sama siapa?”
“Temen.”
“Temen apa pacar?”
“Cari tempat makan yang lain, yuk.” Aku coba untuk mengalihkan pertanyaan curious-nya Yudi. Sedang tidak ingin membahas hal-hal yang bersinggungan dengan Ronald..Meski sebenarnya aku ingin curhat tentang cowok itu, tapi rasanya Yudi bukan orang yang tepat untuk kuajak curhat.
“Ya udah, kamu cari tempat makan yang pengin didatangin. Aku sih tetap makan di Wendy’s. Nanti kalo udah selesai, telepon aku ya buat bayarin makananmu.”
Iih, Yudi ini selalu aja bisa bikin aku ketawa. Kalau saja aku tidak ingat komitmen yang kubuat sendiri, ingin rasanya meninju lengan Yudi karena gemas.
“Aku ngalah, deh.”
“Ngalah buat bayarin? Setuju!”
“Yudiiiiiii!!!!”
“Hahahahaha…..”
Tangan Yudi mengucek kepalaku. Jilbabku sedikit berubah tempat. Lagi-lagi aku tidak bisa mengelak.
****
Esok paginya…
Lantunan ‘Sholawat’ terdengar dari ponselku. Tanda dering telepon masuk.
Nama Yudi disana.
“Assalamu’alaykum.” Terdengar suara bariton diseberang begitu telepon kuangkat.
“Wa’alaykumussalam.”
“Belum tidur, Din?”
“Kamu lagi ngigau ya, Yud? Atau belum bangun?
Nggak salah tuh pertanyaannya….” Yudi mulai bikin “ulah”.
“Aku baru bangun kok. Kali aja kamu baru mau tidur pagi-pagi.”
“Aih, kurang kerjaan. Ada apa, Yud? Bukuku ketinggalan di Wendy’s, ya?”
“Bukan. Tapi sepatu kamu tuh, jatuh sebelah di angkot.” Kejahilannya lagi-lagi bikin aku nyengir pagi-pagi. “Nggak, Din. Agak serius dikit, nih.”
Hah, setelah hari-hari penuh kejahilan, bisakah Yudi bicara serius? Aku sangsi.
“Ada apa, Yud? Bukan tentang hasil ujian listening kemarin, kan?”
“Bukan.”
Hening. Tak ada lagi kalimat yang keluar. Sempat aku mengira saluran telepon terputus. Tapi tak lama terdengar desahan nafas di seberang telepon.
“Aku suka kamu, Din. Sudah cukup lama.”
What? Aku melongo. Apa nggak salah dengar?
“Apa, Yud?”
“I love you, Din.” Kalimat dari mulut Yudi terasa lebih jelas dan tegas di telingaku.
Aaaarrrrggghhhh….tidaaak! Aku sedang malas mendengar ungkapan-ungkapan seperti ini. See, aku baru mencoba sebuah komitmen baru, dan itupun belum bisa kujalankan sepenuhnya. Sepertinya aku harus menyingkirkan ujian ini satu persatu. Yang pertama, Ronald. Belum lagi aku bisa menghadapi Ronald, malah Yudi datang. Tak terduga sama sekali.
Suasana kembali hening. Jujur, aku tidak ada ide sama sekali mau menjawab apa. Ingatanku melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu.
Di sebuah pengajian, ustadzah yang mengisi forum kajian Islam rutin di kampus menjelaskan tentang kehormatan wanita. Bagaimana wanita sebaiknya menjaga diri, juga bagaimana sebaiknya hubungan antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah dibangun. Kata-kata ustadzah seakan meninjuku. Apalagi ketika beliau berkata, “Masa sudah berjilbab masih pacaran.”
Beliau seakan menyindirku. Padahal beliau sama sekali tidak mengenalku dekat. Jadi, mana beliau tahu, kan, kalau aku yang sudah 2 tahun berjilbab ini masih pacaran.
“Din, kamu masih disitu?” tanya Yudi membuyarkan lamunanku.
“I..iya Yud.”
“Gimana?”
“Gimana apanya? Kamu kan nggak ngasih pertanyaan apa-apa.”
“Bagaimana pendapatmu tentang pernyataanku tadi.”
“Ehm, aku cuma mau bilang makasih.”
“That’s all?”
“What do I suppose to say, Yud?”
“Ehm, nothing exactly. Aku tahu kamu punya pacar, Din.”
Aku semakin membisu. Tidak suka pembicaraan seperti ini. Terasa aneh jika Yudi bicara serius. Aku lebih nyaman ketika dia berkelakar, bahkan menjahili aku.
“Yud, we’d better meet and talk. ‘Cause I have something to explain about this.”
“Oke, Din. Kapan kamu punya waktu?”
“Aku bisa hari Sabtu depan, sepulang kuliah. Kamu bisa?”
“Insya Allah.”
Selanjutnya kami bicara dalam diam. Akhirnya memilih menyudahi percakapan.
Ah, Yudi…I thought we can be friends. That’s all I need from you. Not because I have Ronald. Not at all, while I’m trying to eliminate all kind of ‘pink viruses’ stay in my heart. And the statement you’ve just said, didn’t help, even made everything worse.
minta Yudi langsung nikahin aja. hehehe….
jawabannya ada di bagian kedua ;p