
Sebagai orang tua yang sangat peduli pada pendidikan anak, pasti mengerti tentang mengatur tontonan yang baik untuk anak-anak kita. Mulai dari talk show bersama pakar parenting sampai obrolan santai ibu-ibu di warung membahas tentang bagaimana meminimalisir pengaruh buruk tontonan bagi anak, baik tontonan di televisi, internet atau bioskop.
Kita hati-hati sekali menjaga agar anak-anak kita tidak terbawa pengaruh buruk televisi, seperti:
- Pasif, karena saat menonton anak-anak menjadi pihak yang pasif. Sedangkan anak-anak butuh banyak bergerak untuk menyalurkan energinya. Anak yang terbiasa menonton biasanya punya masalah kelebihan berat badan.
- Menirukan karakter-karakter kurang baik berupa ucapan atau perilaku, seperti memukul, bicara kasar atau jahat, meskipun kadang hanya berpura-pura.
- Konsumtif, karena terpengaruh iklan.
Demi hal-hal di atas, orang tua sibuk sekali mencarikan tontonan yang baik, atau bahkan menjadi musuh televisi.
Diluar kepedulian kita terhadap anak-anak, kita-kita orang tua secara sadar atau tidak, kadang tidak peduli pada diri sendiri. Anak dilarang menonton, tapi orang tua bebas menonton.
Memang kenapa? Toh orang tua sudah bisa memilah dan memilih hal yang baik dan buruk?
Benarkah?
Ini mungkin berdasarkan pengalaman pribadi saya, semoga bisa dijadikan pelajaran. Saya dan suami senang menonton acara masak memasak dan film box office. Tadinya. Karena film yang saya lihat kebanyakan film Amerika, terkadang ada rasa permisif pada diri sendiri membolehkan melihat aurat orang lain. Meskipun yang terlihat hanya sebatas belahan dada dan paha. Kalau lebih dari itu, saya jijik. Tapi tetap saja, kita tidak boleh melihat aurat orang lain, bukan?
Lalu ada fenomena yang sering saya lihat baik di dunia nyata maupun maya, budaya Amerika yang berbicara ceplas-ceplos dan kasar, menjadi sesuatu yang dianggap biasa. Ya, mungkin biasa untuk ukuran orang Amerika (Mungkin, ya. Saya kurang paham karena belum pernah bersinggungan langsung dengan mereka).
Yang paling sering saya dengar (atau baca) adalah istilah “What the hell……….!”
Apa sih, yang ada di pikiran orang saat bicara itu. Sepanjang yang saya tahu, bahkan saat saya di Australia, orang hati-hati banget untuk tidak mengeluarkan kalimat itu di depan umum (yaaaah, kecuali orang lagi mabok atau anak muda yang begajulan). Ini di Aussie lho, ya. Entah di belahan dunia yang lain.
Tapi di Indonesia?? Tak jarang saya mendengar anak muda ngobrol santai dengan temannya dan keluar kalimat itu. Atau teman yang saya anggap selalu santun, tiba-tiba bicara itu.
Padahal, orang-orang Ausssie itu selalu menyamarkan kata “hell” paling tidak dengan kata “heck” atau “hey”. Tidak terlalu parah lah, ya.
Saya sih menduga ini akibat tontonan televisi atau bioskop yang sering sekali terdengar kalimat ini terucap. Wallahu’alam. Yang pasti, bikin saya berjengit seperti saat penduduk Hogwarts mendengar nama Voldemort disebutkan.
Pergeseran budaya lambat laun makin terasa. Dalam Islam ini disebut Ghazwul Fikr. Perubahannya pelan-pelan namun tanpa terasa menggerus akhlaq dan kepribadian kita.
Sahabat, saya bukan ingin sok tahu atau menyindir (maaf bagi yang tersindir), namun kita saling mengingatkan dalam kebaikan. “Wata’awanu ‘alal birri wattaqwa” : bertolong-tolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa (QS Al Maidah : 2). Karena saya juga masih banyak kesalahan di sisi lain, mohon ingatkan juga.
Wallahu’alam bishshowwab.
ALfi sekarang udah mulai bilang keles keles nih, surprise denger kata2nya, kalo nirunya bagus kaya bahasa inggrisnya dora ga apa2, efek suka nonton pas bareng sama si mbah nih
Hehehehe. Anak seumuran Alfi lagi seru2nya niruin karakter org yg diliatnya.