Bersambung dari postingan sebelumnya tentang #5+1, saya kembali menuliskan tentang apakah yang dimaksud indera keenamnya Kang Tasaro GK. Ini hasil diskusi di kelas menulis online beliau.
Unsur keenam, atau kalau boleh disebut sebagai indera keenam, adalah KONEKSITAS
Sederhananya begini. Kalau kita perhatikan bagaimana penulis-penulis terkenal (yang karyanya bagus, pen.) membuat naskah mereka, yang sebenarnya sederhana tapi terasa kereeeen banget. Kadang-kadang pembaca bingung, apanya sih yang bikin bagus.
Nah, selain berhubungan dengan lima indera ‘dasar’, koneksitas ini merupakan gabungan kelimanya yang dibuat sedemikian rupa berdasarkan pengetahuan atau wawasan penulis. Dari sini bisa tampak seberapa banyak buku yang dibaca oleh penulis atau film yang ditonton, sehingga wawasannya begitu luas.
Contoh, ketika kita ingin menceritakan kisah remaja sekarang, yang karakteristiknya seputar jago basket, bintang sekolah, idola lawan jenis (saya mengganti istilah pacaran), lalu saingan dengan anak yang punya yayasan.
Kalau penulis punya “koneksitas” bagus, cerita se-klise ini akan jadi menarik. Caranya dengan membuat cerita dengan memasukkan data-data yang tidak biasa ke dalam alur cerita. Sehingga konflik antara si jago basket dengan anak ketua yayasan jadi lebih menarik.
Pernah nonton film Ada Apa Dengan Cinta, kan? Elemen apa di luar konflik khas remaja yang muncul dalam cerita AADC sehingga membuat cerita itu tampak keren banget?
Jawabannya, DUNIA SASTRA! Ini tidak biasa dalam dunia anak muda, kan? Jadi unsur sastra menjadi “alien” dalam kisah cinta remaja dan menjadikannya “sesuatu banget”. Bandingkan dengan sinetron televisi atau FTV yang bertema serupa tapi unsur koneksitasnya justru soal harta, rumah tangga, dll
Hukum koneksitas juga tidak hanya berlaku dalam alur dan unsur cerita yang memperkaya cerita tersebut, tapi juga sebaiknya dimasukkan ke dalam kalimat.
Contoh 1:
PENULIS BIASA : Sari mendatangi kios kelontong itu pagi tadi, membelanjakan seluruh gaji suaminya untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
PENULIS ber-KONEKSITAS : Sari pening kepalanya, ketika Bu Maman, pemilik kelontong tetangga rumahnya, menyorongkan sekeresek belanjaan berisi sekilo cabai, lima liter beras, dan tiga ikat sayuran. Cabai besar Rp1000 rupiah per satunya. Itu menghabiskan hampir setengah gaji suaminya.
Coba bandingkan, apa nilai koneksitas di contoh kedua?
Kira-kira, apakah semua penulis tahu berapa harga CABAI BESAR hari ini? Atau hanya penulis yang melakukan KONEKSI? Yang mengecek harga ke warung? Yang Googling, atau setidaknya nanya ibunya? 😀
Contoh 2:
PENULIS BIASA: Seorang penulis seperti Anggi, sepanjang hidupnya lebih suka kesendirian, membaca banyak buku, menuliskan idenya ke dalam tulisan..
PENULIS BERKONEKSITAS: Anggi memahami kehidupannya sebagai penulis seperti ibu yang mengandung bakal anaknya. Setiap hari memberinya gizi yang baik, sabar menunggu si jabang bayi menyempurna di dalam rahimnya.
Bisa melihat perbedaannya? Ada nilai KONEKSITAS apa di dalam naskah PENULIS BERKONEKSITAS?
Apakah SEMUA PENULIS mengetahui bagaimana proses janin bertumbuh di dalam RAHIM? Ataukah hanya penulis yang membaca buku tentang proses kehamilan, Googling tentang kehamilan, atau bertanya kepaa ibunya? Inilah kekuatan KONEKSITAS, yaitu menghubungkan dua, tiga data yang secara langsung tidak berhubungan, tapi punya kemampuan untuk memperkaya naskah, memberi nilai plus kepada PEMBACA.
Koneksitas hanya dimiliki oleh penulis yang banyak BELAJAR, lewat membaca, menonton, jalan-jalan atau mengobservasi lingkungannya.
Beberapa contoh Koneksitas karya teman-teman:
1) Laila Nurshaliha: Tak terasa, Rani pun sudah menghabiskan cemilan yang siap akan membuatnya lebih gemuk ketika dilakukannya sambil duduk di depan televisi.
Tasaro Gk: Bagussssss!! Disitu ada pengetahuan kedokteran/kesehatan yang gak diketahui semua penulis. MAKAN SAMBIL DUDUK, bikin gemuk.
2) Anne Adzkia Indriani: Seharusnya saya belajar menulis bersama Mas Tasaro, tapi acara Grey’s Anatomy di televisi mengalihkan perhatian saya. Alih-alih menjawab pertanyaan Mas Tasaro, saya malah membayangkan sedang memegang scalpel, melakukan incisi pada tubuh pasien, dan membedah isi perutnya.
Tasaro Gk: BETULLLLL… gak semua penulis ngarti apa itu INCISI…..SCALPEL…dll…
3) Hairi Yanti: “Hah? Singkat banget menguleni adonan donatnya,” Dinar menggerutu, matanya tak lepas dari layar persegi 20 inch di depannya. Seorang wanita cantik sedang ditampilkan berada di depan alat-alat dapur. “Namanya juga tayangan TV, kan terbentur dengan yang namanya durasi. Mana bisa setiap step dalam bikin donat disampaikan seperti aslinya,” Ibu menurunkan koran yang sedang dibacanya. Matanya ikut mengamati televisi. “Tapi tayangan ini yang bikin aku salah paham Bu. Mana aku tau menguleni adonan itu butuh kesabaran dan ketekunan. Butuh waktu 20 sampai 30 menit. Gara-gara tayangan seperti ini aku kira bikin donat hanya perlu mencampur semua bahan, setelah itu selesai.” “Dinar.. Dinar.. kan chefnya udah jelasin sampai adonannya kalis. Ya perlu proses dong sampai adonan tidak menempel di tangan kamu. Itu yang namanya kalis.” “Tapi chef itu ga jelasin berapa waktu yang dibutuhkan buat menguleni adonan sampai kalis,” Ibu menggelengkan kepalanya. Dari dulu anaknya ini memang keras kepala.
Tasaro Gk: Boleh…boleh…., jadi ceritanya tuh soal hubungan anak dan ibu misalnya, unsur lainnya: koneksitas: membuat kue.
4) Purwanto Ndv: Aku tersenyum melihat ANTV menyajikan Bokator, seni beladiri dari Kamboja. Agak terbasuh kerinduanku akan latihan saat sakit dua tahun ini. Awalnya kukira Muay Thai atau Muay Lao dari Laos atau Bando dari Burma. Ternyata Bokator mirip dengan seni tarung negara-negara tetangganya. Aku yakin mereka serumpun dan berasal dari satu induk. Mungkin karena bangsa-bangsa Siam, Laos, Burma dan Kamboja pernah saling berperang, maka mereka mengklaim beladiri mereka beda satu sama lain.
Tasaro Gk: Iya, betul! Gak semua penulis ngerti apa itu Bokator, dari mana asalnya, apa bedanya dengan seni Martial Art yang lain….keren.
Bagaimana caranya agar tidak terkesan kaku, seperti tulisan ilmiah? Caranya, bayangkan seperti kita sedang bergosip, yang lompat kesana-kemari, tanpa terasa kita telah menghubungkan banyak hal dalam satu bahasan. Tapi tetap harus dikembalikan agar tidak melenceng kemana-mana.
Tujuan koneksitas adalah untuk memperkaya naskah, bukan mendominasi, jadi sebagai tambahan atau bonus. Jangan dibuat di seluruh tubuh naskah agar nggak membosankan. Cukup pada hal-hal yang tidak biasa dan tidak diketahui kebanyakan pembaca saja. Boleh dikatakan bahwa koneksitas adalah kemampuan penulis untuk memjaga keterkaitan antar unsur- unsur dalam cerita, dan tidak menjadikan unsur itu sekedar tempelan belaka. Harus menyatu dengan cerita, tanpa disadari oleh pembaca.
Contoh yang berupa tempelan: Sari menyetel TV dan menyadari gambar di layar plasma itu tak sempurna. Seperti efek CMYK tak sempurna pada mesin pencetak kertas….(udah…si penulis tidak menjelaskan lagi apa itu CMYK…bagaimana kinerja mesin cetak)
Materi keren dari Kang Tasaro nggak berhenti disini, tapi masih berlanjut. Kalau mau bergabung dengan diskusi interaktif bersama beliau, stay tune setiap malam minggu jam 8.00 wib di fan page Tasaro GK Juru Dongeng. Kalau nggak bisa hadir, ikuti saja hasil rangkuman yang saya posting di sini. Semoga bermanfaat.