
Pernah saya iseng-iseng bertanya pada seorang guru di sekolah anak saya, di Emerald Australia. Kenapa kurikulum di Australia lebih ringan dibanding kurikulum di Indonesia? Kebetulan guru ini pernah tinggal di Indonesia selama beberapa waktu dan tahu bagaimana sedikit tentang kondisi pendidikan Indonesia.
Guru ini menjawab, bahwa pendidikan anak-anak usia primary (maksudnya SD) memang diusahakan tidak membebani mereka dan tidak merampas masa bermain mereka. Karena kelak saat mereka dewasa, mereka akan dihadapkan pada pekerjaan yang berat dan serius. Dan saat itulah mereka tidak lagi bisa bermain-main.
Waah, pikiran saya langsung terbang ke tanah air, teringat betapa banyaknya orang dewasa yang bekerja sambil bermain :-P. Main hakim-hakiman, guru-guruan, dokter-dokteran, menteri-menterian. Karyawan yang jam kerjanya diisi dengan main medsos di ponsel, orang dewasa yang keranjingan main game sampai bela-belain begadang.
Nggak aneh kalau akhirnya muncul istilah “Masa Kecil Kurang Bahagia.” Mungkin karena kebanyakan dari mereka terlalu memeras otak dan bekerja terlampau keras ketika fitrah mereka bermain. Sehingga ketika saatnya serius, mereka baru menyadari kalau masa bermain mereka dulu kurang.
Maaf kalau ada yang tersindir, karena sebenarnya saya pun sambil berkaca. Nggak jarang saya pun keasyikan main game ponsel ;P. Alasannya, zaman saya kecil kan nggak ada game ponsel *alasaaan*.
Dari sini, saya jadi banyak belajar dan memperbaiki diri sedikit demi sedikit. Bagaimana cara membuat anak-anak puas menghabiskan masa bermainnya tanpa melupakan tanggung jawab yang perlahan-lahan dibebankan kepada mereka.
Kenapa sih anak-anak harus bahagia? Apa efeknya memori masa kecil terhadap perkembangan mental seorang manusia?
Saya belum menemukan jawaban lengkap dari pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi ada beberapa hal yang saya garisbawahi dari pengalaman dan beberapa buku yang saya baca:
- Otak seorang anak berkembang cepat pada golden period (0-5 tahun) dan terus berkembang sampai memasuki masa remaja. Kenangan-kenangan masa kecil tidak akan seluruhnya diingat ketika anak-anak dewasa, namun meninggalkan bekas berupa jati diri dan kepribadian.
- Anak-anak yang bahagia akan mudah menerima dan menyerap beragam informasi yang diterima panca inderanya. Mereka berani untuk mengeluarkan pendapatnya tanpa takut disalahkan. Anak-anak juga memiliki rasa nyaman dan aman, juga merasa diakui dan dihargai. Anak yang bahagia akan mudah menciptakan kreatifitas-kreatifitas dan mampu berpikir jernih.
- Ketika anak-anak sudah menghabiskan masa kecil mereka dengan bahagia, tak akan ada lagi masanya mereka mencari kebahagiaan di luar keluarga saat mereka remaja nanti. Jati diri dan karakter yang kuat sudah tertanam sejak dini. Nggak ada lagi kisah orang dewasa yang diberi label “masa kecil kurang bahagia.”
Baca: The Five Foundation Children Need to be Successful and Happy atau dalam versi bahasa Indonesia saya tulis di sini.
Dan semua ini menjadi bagian dari tanggung jawab orang tua, menciptakan atmosfer menyenangkan buat mereka.
Lalu bagaimana cara menjadikan anak-anak kita bahagia? Jujur, kadang saya masih ragu apakah anak-anak saya bahagia memiliki orang tua seperti saya. Yang kadang masih mengedepankan emosi dalam proses mendidiknya. Dan lebih daari itu, dengan segala keterbatasan ini saya masih terus berusaha, memperbaiki diri. Ada beberapa hal yang saya jadikan pegangan dan berusaha saya amalkan, meski masih jatuh bangun:
- Terbuka dengan segala kondisi dan kelemahan-kelemahan kita. Jangan merasa kita yang paling benar.
- Menjadikan anak-anak adalah anak-anak. Bukan orang dewasa dalam tubuh yang lebih kecil. Artinya, memberikan hak anak, berusaha memahami mereka apa adanya dan menyelami pemikiran mereka. Ini masih sangat sulit karena saya masih sering membuat aturan berdasarkan nilai yang saya anggap benar, tanpa masuk ke dunia mereka terlebih dahulu.
- Tidak membebankan mereka dengan hal-hal di luar batas kemampuan, seperti metode belajar, tugas-tugas dan tanggung jawab. Semua diberikan bertahap. Supaya anak-anak puas menjelajahi masa kecil mereka. Hingga saat dewasa tidak lagi merasa “kurang”.
- Mencintai tanpa syarat. Tidak mncintai hanya saat anak-anak kita berbuat baik. Ini berlanjut pada sikap mau menerima kekuranga anak.
- Mindful parenting, maksudnya adalah mendidik dengan penuh kesadaran. Sadar ketika berbuat salah, lalu langsung minta maaf. Sadar ketika marah, jangan sampai kelewat batas. Aware dengan segala kebutuhan fisik dan psikologis anak.
- Yang terakhir ini adalah yang paling sulit, yaitu meneladani setiap jengkal kehidupan yang dicontohkan Rasulullah SAW dalam mendidik anak.
Sungguh, keenam hal di atas belum sanggup saya jalani sepenuhnya. Masih amat terasa berat. Namun, saya masih berusaha selagi badan masih kuat. Dan saya ingin semua orang tua melakukan hal yang sama. Membuat anak-anak kita bahagia, agar kelak mereka menjadi orang dewasa yang bahagia dan mampu membahagiakan orang lain.
Betul bu dokter, kurikulum di kita selalu berganti2, blom selsai yg satu udah ganti yg lain. Emang bener sih harus countinious immpropment tp kita sbg pelaksana di lapangan jd bingung blom mahir yg ini u ganti yg baru dan wajib lagi. Kasian jg Nasib anak2 didik. Kita dipaksakan untuk melaksanakan tanpa melihat hakekat pendidikan itu sendiri. Anak2 kehilangan masa menyenangkan di masa kanak2 krn bny pelajaran yg dihapal dan pr yg hrs dikerjakan… Bicara target kurikulum ktnya…anak tk aja u kudu ß̍̍̊i̲̅šsa̶̲̥̅̊ baca tulis, kesian ..masa bersosialisasi n bermain menjadi berkurang. Harus ada yg membenahi ini semua..klo kita sebagai orang tua yg mengerti keadaan anak tp bicara sekolah dan program kurikulum rasanya mustahil untuk mengklopkan keadaan ini semua… ..
Jadi PR kita bersama ya. Kalau kita termasuk org yg mempercayakan pendidikan pada sekolah, berarti harus jeli nangkep momen spy anak bs bermain. Istilahnya “work hard, play harder”. Aku sendiri memutuskan meng-homeschool-kan anak2, biar lbh bebas mengatur porsi main dan belajar mereka. Ttp semangat ya, sama2 membuat perubahan utk kemajuan bangsa.
Benar juga yach ternyata efek kurikulum yang berat membuat anak2 kekurangan masa bermain yach. Dan kadang diperparah dengan tuntutan orang tua dengan standar yang tinggi. Hiksss kalau dipikir2 jadi kasihan.
🙁
Uhukkk! Ketampol kanan kiri sayah euy. ???????????? makasih ya Mbak Anne!
Makasih udah baca ya Dan.
Ah bener banget ini..teringat betapa berat bawaan buku anakku tiap harinya.sampe rumah masih ada PR belum kalo ulangan ga ada istirahatnya. Kesian deh liatnya…
Belum lg ortu yg harus ngikutitn kurikilum yg hoby nya gonta ganti. Orang tua aja susah menyesuaikan cara belajar baru apalagi anak2. Mau kasih waktu main lebih lama kok ada tanggung jawab di sekolah… hiks.. sedih
andaikan para pembuat kebijakan pendidikan belajar dr kurikulum2 diluar yg kayanya lebih ringan tp somehow lebih berbobot
Kondisi ini bisa dibarengi dgn suasana fun di rumah dan bonding erat dgn keluarga ya mbak
Thank banget sharingnya mba Anne
PR terbesar jd orang tua mmg tetap bs membahagiakan anak dg cara n porsi yg tepat.
Its not easy but we learn to…
Yeah, we gotta to learn every single time about being a good parent.
Bu Anne, terima kasih ya sharing-nya. Semoga saya bisa meneladani Bu Anne 🙂
Aduh jangaaan. Saya masih tataran teori aja. Praktiknya masih belajar terus dan nggak semudah teorinya.
kurikulum di indonesia masih blm murni mengedepankan pendidikan, malahan masih ada aroma politis yg nempel. Kita memang blm pnya formula sendiri, masih ada campuran dari negara lain. Jadi, ya begitulah masih gado-gado 🙂
Semoga ada perubahan ya di masa yg akan datang.
Mengenai pemberian tugas dan tanggung jawab, aku masih bingung soal pekerjaan rumah. Tadinya sih mau mengajari Salwa untuk mencuci dan menyetrika bajunya sendiri. Namanya juga anak perempuan. Baik nggak sih kalau gitu?
Nah ini mah bagian dr pendidikan tanggung jawab, Chan. Justru penting buat anak2 latihan bertanggung jawab buat dirinya sendiri. Tugasnya kita sesuaikan dengan usia. Ada deh di postingan aku yg lain ttg ini.
Anak harus bahagia…wah seneng banget saya nemu tulisan yang mencerahkan…karena saya sendiri jarang bertanya kepada mereka tentang apa yang membuat mereka bahagia…hik…hik…:( meski mereka baru 6 thn n 3 thn. Selama ini saya hanya berusaha menyelaraskan kegiatan harian mereka sewajarnya tugas perkembangan dan membangun goodmood mengisi hari. Terima kasih mba Anne telah berbagi ilmunya 🙂
Reminder banget nih tulisannya. Walau tidak pernah maksa dalam hal belajar tapi kadang suka maksa untuk ngajarin dia mandiri. Makasih Mba.
Sama-sama mbak. Saya juga masih belajar menangani anak. Sabarnya masih kurang banyak.
apalagi masukin sekolah anak terlalu dini ya mba…udah calistung… takutnya anak dah bosen duluan..
Iya mbak. Kata John Holt, better late than early utk urusan akademis.
Naahh iya, anak-anak selagi kecil harus puas di masa bermainnya. Saya pernah ulas juga di blog, tapi udah lama. Kalau mereka ga puas di masa bermain, dia akan “ngutang” masa bermain di masa dewasa, repot kan :).
Nah betuuul. Mmg itu poinnya mbak. Tfs
ahhhhh dalemmm, makjjleb, mencintai tanpa syarat, malah aku jadi mewek, iya mbak aku sebisa mungkin gak mau membebani alfi hal2 yg gak dia suka, seperti yg mbak anne bilang sewaktu ketemu di depok dulu, aku berasa banget mas akecil ketika habis sama buku itu karena terpaksa
Tantangan kita jadi org tua banyak ya
Setuju Mak, beban banget kurikulum sekolah dasar. Sejujurnya malah saya yg ga tega kadang2, kalau lihat gurunya ‘gatel’ kalau sehari ga ngasih PR ke anak muridnya :(. Alhasil, saya coba nerapin kerjain PR setelah dia tuntasin haknya (main, nonton tv, makan, dll) baru deh saya coba negosiasi jam berapa ngerjain PRnya. Malah sekarang dia yg nentuin sendiri, mau ngerjain PR jam berapa. Dan saya lagi mencoba buat nerapin kata salah seorang Ustadz, “belajar yang rajin ya Nak, biar disayang Allah.” Jadi saya tidak begitu ambisi sama nilai2 dia di sekolah Mak, ini yg masih terus saya usahain biar saya sendiri disiplin dalam membahagiakan si kecil. Doakan saya mak 🙂 dan barakallah ilmunya, bener2 mengingatkan saya yg sedang ‘lelah’ gini.
Afwan jadi kepanjangan hehe
Aamiin ya Rabbal’alamiin
iya ya mbak, anak tetangga kemarin ini ngamuk ga mau sekolah, kata ibunya, mungkin krn sebetulnya dia takut aja belum ngerjain PR. Yg mesti ‘disalahin’ berarti si PRnya itu kan ya? sampe bikin anak kelas 1 SD stres segala ga mau sekolah 🙁
Banyak penyebab juga sih Rin, hrs dievaluasi lbh jauh
selalu butuh ilmu dan terus belajar ketika menjadi orngtua bagi anak2 yg masih berkembang sesuai usianya. makasi ya infonya..
kebahagian anak juga dipengaruhi oleh keharmonisan rumah tangga ya mba,
aku masih jauh kayaknya mikirin beginian, istri juga belum punya 🙁
Semoga segera menemukan pujaan hati ya 🙂 aamiin
selamatkan masa depan anak
Betuuul 🙂